hutan kuburan "liburan ke hutan misterius" oleh hartopo ke-4 (1/3)
EMPAT
Mentari tampak malu-malu menampakkan diri dari tempat persembunyiannya diupuk timut. Langit tidak begitu bersih. Terdapat gumpalan-gumpalan awan putih sebagai dekorasinya. Pagi ini cuaca agak mendung tapi tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Suasana pagi yang dingin dan berkabut. Vyna melihat jam tangan dibalik ujung lengan panjang jaketnya. Jam baru menunjukkan pukul 05.45 pagi. Jaket tebal yang membungkus tubuh Ari, Vyna, Nada, Genta dan Riky tampak basah oleh titik-titik embun di pagi hari. Mereka sedang berjalan menelusuri jalan sempit yang dipenuhi semak belukar. Jalanan terasa tidak jelas dan tanpa tujuan karena jarak pandang yang terbatas. Nada tanpa henti tersenyum menahan tawa. Genta, Ari, Vyna dan Riky memandang heran pada Nada.
“Nada, kamu kenapa sih ?” tanya Vyna terkesan jengkel dan khawatir menjadi satu padanya
“iya nih dari tadi senyum-senyum terus” tambah Riky khawatir temannya itu stress.
Tampak sikap Nada yang sepertinya tidak puas dengan sesuatu yang tidak diketahuinya
“tidak apa-apa kok. Lucu aja, mengingat cerita kakek tadi malam yang menurutku sama sekali tidak beralasan untuk diikuti, mirip seperti dongeng masyarakat jaman dulu kala” jawab Nada sombong dan meremehkan kejadian itu. Nada merasa dirinya paling pintar, tidak mudah dibodohi dengan cerita-cerita seperti itu dan merasa telah disamakan seperti anak kecil yang masih belum bisa menilai yang mana cerita logis dan cerita yang tidak logis.
Riky menyadari hal itu dan merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan Nada
“Iya juga ya. Aku juga baru dengar ada orang yang sudah mati, kemudian hidup lagi, kemudian bisa membunuh orang yang telah membunuhnya” dukung Riky menguatkan pendapat Nada, walaupun sebenarnya. Riky juga baru sadar hal itu setelah mendengar penjelasan yang baru saja keluar dari mulut Nada. Riky tersenyum yang maksudnya meremehkan cerita Pak tua itu dilanjutkan dengan geleng-geleng tidak habis pikir dengannya. Genta ikut-ikutan tersenyum menahan tawa saat mengingat cerita itu. Nada, Riky dan Genta lalu tertawa. Ari dan Vyna saling pandang lalu tersenyum berat karena merasa iba dengan tanggapan ketiga temannya yang tidak pernah menghargai pesan orang tua.
“Kalian tau tidak kakek itu pergi kemana tadi ?” tanya Genta mencoba membuat teman-temannya penasaran agar dianggap paling tahu tentang itu.
“kayanya sih dia ikut audisi dongeng deh” tebak Riky asal bicara dengan maksud bercanda namun kedengarannya malah seperti mengejek.
Nada, Genta dan Riky kembali tertawa mendengarnya. Vyna dan Ari ikut tersenyum karena usaha teman-temannya untuk melucu berhasil mengenainya. Vyna dan Ari saling melempar senyum sejenak. Ari menghela napas dan geleng-geleng kepala pada ketiga temannya yang tanpa henti mengejek cerita Pak tua. Mereka terus melangkah menelusuri jalan setapak yang biasa digunakan warga untuk mencari kayu, mereka sendiri belum tahu kemana ujungnya. Bukan hanya karena masih baru pertama kali masuk kehutan itu, melainkan juga dihadapkan dengan jarak pandang yang terbatas oleh kabut yang masih belum juga berkurang dari sebelumnya, bahkan semakin jauh mereka masuk dan melangkah kabut itu seakan kian tebal dan semakin tidak terlihat apa-apa diujungnya.
Matahari sudah berani menampakkan sinarnya. Pagi pun sudah mulai terasa hangat. Kabut yang sejak tadi menutupi hampir semua pandangan mata pun juga sudah mulai sirna seperti sedia kala. Hari ini memang tidak sepanas biasanya dan langit memang agak mendung. Suasana dipinggir jalan didepan rumah Pak tua yang sangat sepi. Rumah itu berada dipinggir hutan. Rumah itu hanya sendiri dengan kondisinya sudah sangat tua, reot dan hampir roboh. Kondisi dindingnya sudah rapuh dan bolong-bolong. Kondisi atapnya juga sudah tidak karu-karuan dan terbuat dari atap daun. Warna bangunan sudah sangat lapuk seperti kayu mati yang sudah keropos. Halaman disekitarnya ditumbuhi oleh semak belukar yang sangat tidak terurus. Rout dan Jimmi sedang melintas dijalan yang searah dengan jalan lokasi rumah Pak tua berada. Rout dan Jimmi saling pandang seolah sedang menilai kondisi rumah Pak tua. Jimmi menghela napas dan geleng-geleng kepala menanggapi rumah itu.
“Menurutku hal yang wajar kalau rumah itu sudah sangat tua sekarang” ucap Jimmi maklum.
Rout malas mendengarnya. Menurutnya ucapan seperti itu memaksanya harus kembali kemasa lalu sesuai dengan kalimat yang diucapkan
“Iya sih, sejak desa ditengah hutan itu lenyap kabar Pak tua itu pun juga ikut tenggelam ditelan waktu” sahut Rout merasa tidak nyaman jika membiarkan temannya bicara sendiri tentang itu dan sangat tidak mau membuat temannya itu tersinggung karena egonya yang malas membahas masa lalu.
“iya juga ya, aku juga heran. Kira-kira kemana dia perginya ya ?” tanya Jimmi penasaran
“mana aku tau. Memangnya aku cucunya” jawab Rout sewot dengan maksud bercanda.
Jimmi sewot mendengarnya “kalau kamu tidak tau ya tidak apa-apa, jangan sewot begitu dong” jelas Jimmi merasa bersalah.
Rout tersenyum pada rekannya seperti layaknya...
Mentari tampak malu-malu menampakkan diri dari tempat persembunyiannya diupuk timut. Langit tidak begitu bersih. Terdapat gumpalan-gumpalan awan putih sebagai dekorasinya. Pagi ini cuaca agak mendung tapi tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Suasana pagi yang dingin dan berkabut. Vyna melihat jam tangan dibalik ujung lengan panjang jaketnya. Jam baru menunjukkan pukul 05.45 pagi. Jaket tebal yang membungkus tubuh Ari, Vyna, Nada, Genta dan Riky tampak basah oleh titik-titik embun di pagi hari. Mereka sedang berjalan menelusuri jalan sempit yang dipenuhi semak belukar. Jalanan terasa tidak jelas dan tanpa tujuan karena jarak pandang yang terbatas. Nada tanpa henti tersenyum menahan tawa. Genta, Ari, Vyna dan Riky memandang heran pada Nada.
“Nada, kamu kenapa sih ?” tanya Vyna terkesan jengkel dan khawatir menjadi satu padanya
“iya nih dari tadi senyum-senyum terus” tambah Riky khawatir temannya itu stress.
Tampak sikap Nada yang sepertinya tidak puas dengan sesuatu yang tidak diketahuinya
“tidak apa-apa kok. Lucu aja, mengingat cerita kakek tadi malam yang menurutku sama sekali tidak beralasan untuk diikuti, mirip seperti dongeng masyarakat jaman dulu kala” jawab Nada sombong dan meremehkan kejadian itu. Nada merasa dirinya paling pintar, tidak mudah dibodohi dengan cerita-cerita seperti itu dan merasa telah disamakan seperti anak kecil yang masih belum bisa menilai yang mana cerita logis dan cerita yang tidak logis.
Riky menyadari hal itu dan merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan Nada
“Iya juga ya. Aku juga baru dengar ada orang yang sudah mati, kemudian hidup lagi, kemudian bisa membunuh orang yang telah membunuhnya” dukung Riky menguatkan pendapat Nada, walaupun sebenarnya. Riky juga baru sadar hal itu setelah mendengar penjelasan yang baru saja keluar dari mulut Nada. Riky tersenyum yang maksudnya meremehkan cerita Pak tua itu dilanjutkan dengan geleng-geleng tidak habis pikir dengannya. Genta ikut-ikutan tersenyum menahan tawa saat mengingat cerita itu. Nada, Riky dan Genta lalu tertawa. Ari dan Vyna saling pandang lalu tersenyum berat karena merasa iba dengan tanggapan ketiga temannya yang tidak pernah menghargai pesan orang tua.
“Kalian tau tidak kakek itu pergi kemana tadi ?” tanya Genta mencoba membuat teman-temannya penasaran agar dianggap paling tahu tentang itu.
“kayanya sih dia ikut audisi dongeng deh” tebak Riky asal bicara dengan maksud bercanda namun kedengarannya malah seperti mengejek.
Nada, Genta dan Riky kembali tertawa mendengarnya. Vyna dan Ari ikut tersenyum karena usaha teman-temannya untuk melucu berhasil mengenainya. Vyna dan Ari saling melempar senyum sejenak. Ari menghela napas dan geleng-geleng kepala pada ketiga temannya yang tanpa henti mengejek cerita Pak tua. Mereka terus melangkah menelusuri jalan setapak yang biasa digunakan warga untuk mencari kayu, mereka sendiri belum tahu kemana ujungnya. Bukan hanya karena masih baru pertama kali masuk kehutan itu, melainkan juga dihadapkan dengan jarak pandang yang terbatas oleh kabut yang masih belum juga berkurang dari sebelumnya, bahkan semakin jauh mereka masuk dan melangkah kabut itu seakan kian tebal dan semakin tidak terlihat apa-apa diujungnya.
Matahari sudah berani menampakkan sinarnya. Pagi pun sudah mulai terasa hangat. Kabut yang sejak tadi menutupi hampir semua pandangan mata pun juga sudah mulai sirna seperti sedia kala. Hari ini memang tidak sepanas biasanya dan langit memang agak mendung. Suasana dipinggir jalan didepan rumah Pak tua yang sangat sepi. Rumah itu berada dipinggir hutan. Rumah itu hanya sendiri dengan kondisinya sudah sangat tua, reot dan hampir roboh. Kondisi dindingnya sudah rapuh dan bolong-bolong. Kondisi atapnya juga sudah tidak karu-karuan dan terbuat dari atap daun. Warna bangunan sudah sangat lapuk seperti kayu mati yang sudah keropos. Halaman disekitarnya ditumbuhi oleh semak belukar yang sangat tidak terurus. Rout dan Jimmi sedang melintas dijalan yang searah dengan jalan lokasi rumah Pak tua berada. Rout dan Jimmi saling pandang seolah sedang menilai kondisi rumah Pak tua. Jimmi menghela napas dan geleng-geleng kepala menanggapi rumah itu.
“Menurutku hal yang wajar kalau rumah itu sudah sangat tua sekarang” ucap Jimmi maklum.
Rout malas mendengarnya. Menurutnya ucapan seperti itu memaksanya harus kembali kemasa lalu sesuai dengan kalimat yang diucapkan
“Iya sih, sejak desa ditengah hutan itu lenyap kabar Pak tua itu pun juga ikut tenggelam ditelan waktu” sahut Rout merasa tidak nyaman jika membiarkan temannya bicara sendiri tentang itu dan sangat tidak mau membuat temannya itu tersinggung karena egonya yang malas membahas masa lalu.
“iya juga ya, aku juga heran. Kira-kira kemana dia perginya ya ?” tanya Jimmi penasaran
“mana aku tau. Memangnya aku cucunya” jawab Rout sewot dengan maksud bercanda.
Jimmi sewot mendengarnya “kalau kamu tidak tau ya tidak apa-apa, jangan sewot begitu dong” jelas Jimmi merasa bersalah.
Rout tersenyum pada rekannya seperti layaknya...